Ramadhan di Tiongkok : Rasakan Banyak Toleransi

WUHAN – Dua orang
mahasiswa peraih beasiswa Confucius Institute Scholarship tahun lalu, Siti
Cholifah dan Dinda Ayu Triasri membagikan pengalaman selama Ramadhan di Tiongkok.
Salah satunya yaitu kebiasaan atau tradisi yang berbeda antara melaksanakan ibadah
puasa di Indonesia dan Tiongkok. Jika adzan maghrib adalah pertanda bahwa umat Muslim
dapat membatalkan puasanya dan Bersiap untuk berbuka, di Tiongkok tidak demikian.
Azan dan iqamah tidak dikumandangkan, melainkan jamaah dipastikan melihat jam
yang ada di masjid dan bila waktu maghrib tiba jamaah berbuka dengan sedikit
minum air dan mencicipi takjil. Sebelumnya jamaah disarankan untuk berdzikir
dan membaca surah-surah pendek Bersama-sama. Kemudian dilanjutkan dengan solat
maghrib lalu diarahkan menuju ruang makan untuk makan. Meja makan dibuat
melingkar supaya terasa
suasana Ramadhan yang
penuh dengan kebersamaan. Bagaimana pembagian waktu mulai dan berakhirnya puasa
juga mereka lontarkan. Rukyatul Hilal merupakan metode yang digunakan untuk menentukan
berapa lama waktu berpuasa, yang sama halnya digunakan di Indonesia oleh jamaah
NU.

Dengan demikian, puasa
Ramadhan dimulai pada tanggal 12 Maret 2024. Dilanjutkan dengan durasi berpuasa
juga terdapat perbedaan pada hal ini. Keunikannya terletak pada waktu awal
hingga pertengahan durasi puasa di Tiongkok yaitu 12,5 jam, namun pada pertengahan
hingga akhir Ramadhan menjadi 13,5 jam. Hal tersebut bukanlah suatu keanehan melainkan
pengaruh geografis di Tiongkok yang waktu matahari terbit dan terbenamnya
berubah-ubah.
Setelah menjelaskan perihal berbuka dan durasi berpuasa, Siti dan Dinda juga memaparkan tentang pelaksanaan shalat tarawih yang dapat ditemukan keunikannya. Jika di Indonesia pemimpin solat (Imam) berjumlah satu dan diperuntukkan seluruh jamaah baik laki-laki dan Perempuan, di TIongkok tidak demikian. Di Tiongkok imam hanya diperuntukkan jamaah laki-laki, sedang Perempuan tidak. Tempat jamaah solat tetap terpisah, namun jamaah laki-laki terdapat imam, tetapi tanpa bilal. Sebaliknya, jamaah Perempuan tidak terdapat imam, tetapi ada bilal. Hal tersebut sebagai penanda bahwa solat dapat dilaksanakan dalam waktu yang sama walau tidak berjamaah. Jamaah Perempuan melaksanakan solat masing-masing namun dimulai dan diakhiri dengan waktu yang bersamaan. Dalam jumlah rakat, sama dengan di Indonesia.

gambar suasana ramadhan di Wuhan, China
Sama halnya dengan
mahasiswa perantau yang lain, mereka memilih untuk memasak sendiri untuk
berbuka dan sahur. Alasannya, selain lebih suka masakan Indonesia, memasak juga
lebih menghemat kantong. “Kendala hanya terletak pada manajemen waktu yang
harus menyesuaikan antara kuliah, belajar, tarawih, memasak, dan sebagainya.”
Papar Dinda.
Hal terakhir yang
dapat mereka bagikan adalah hal menarik yang mereka rasakan selama berpuasa di
Tiongkok. Yaitu berbuka Bersama warga Indonesia yang lain yang menempuh Pendidikan
disana. Toleransi yang terjadi juga sangat kuat didukung dengan kehadiran teman-teman
non-muslim yang ikut beraprtisipasi. Selain itu, teman-teman yang berasal dari negara
lain juga ikut menyemarakkan Ramadhan mereka disana. Hal tersebut dapat mengobati
rasa rindu terhadap tanah air tercinta.
Share It On: